Rizqullah menunaikan ibadah haji pertama kali tahun 1985. Ia berangkat dari Amerika Serikat. Saat itu ia sedang menempuh pendidikan S2 di negeri Paman Sam itu. Bank BNI yang mengirim dia untuk tugas belajar ke AS.
Biasanya tiap liburan musim panas, Rizqullah memanfaatkannya dengan berkeliling negara-negara bagian di Amerika Serikat. Pada 1985 itu ia mikir-mikir, summer kali ini mau ke mana. Kebetulan ada teman satu apartemen, orang Indonesia juga, ayahnya mengelola pemberangkatan jamaah haji.
Basisnya di Jeddah. Tiap tahun temannya itu selalu membantu orang tuanya mengurus jamaah haji. `’Dia menawari saya untuk ikut ke Tanah Suci. Awalnya saya masih mikir soal ongkos. Tapai dia bilang, yang penting tiket pesawatnya saja. Kalau sudah sampai di Arab, yang lainnya insya Allah beres. Akhirnya saya putuskan ikut,” tutur Rizqullah.
Walaupun ikut ONH Plus tersebut, Rizqullah tidak selamanya mengikuti acara rombongan. Dia sering pergi sendiri, misalnya ke Jeddah dan Makkah. Beberapa kali dia menginap di Masjidil Haram. Dia bergabung dengan anggota jamaah lainnya di Jeddah. `’Saya lebih suka jalan sendiri, selain menghemat ongkos, juga tidak terikat,” ujar Rizqullah yang pernah ditugasi memimpin cabang BNI di Hongkong dan London.
Ada yang menarik ketika pertama kali Rizqullah masuk Masjidil Haram. `’Pertama kali melihat Ka’bah, tanpa sadar badan saya merinding dan bergetar. Air mata menetes. Ketika itulah saya merasakan betapa besarnya Allah, dan betapa kecilnya saya,” tutur lelaki yang pernah memimpin berbagai cabang BNI di Indonesia itu.
Ada pengalaman lain yang juga selalu diingatnya. Waktu ia dan teman yang lain hendak tawaf, dia meletakkan sandal di dekat tiang masjid. Dia telah diingatkan oleh temannya agar jangan menaruh sandal di situ. `’Saya bilang, ini Masjidil Haram, aman. Tapi dia mengatakan, bisa saja sandal saya hilang,” kata Rizqullah yang kini dipercaya sebagai Pemimpin BNI Syariah.
Selesai tawaf, Rizqullah mencari sandal tadi, ternyata tidak ada di tempatnya. Rombongan kembali ke penginapan. Sepanjang jalan, Rizqullah berpikir, apa kesalahan yang telah dilakukannya. Dia memutuskan balik lagi ke Masjidil Haram. Di tempat itu, ternyata bungkusan berisi sandal dalam keadaan utuh. `’Hal ini menyadarkan saya, bahwa kita tidak boleh bicara sembarangan, tidak boleh takabbur,” ujarnya.
Rizqullah juga mempunyai pengalaman lain yang sulit dilupakan. Saat menunggu shalat Isya di Masjidil Haram, dia didatangi orang dari Timur Tengah. Dia mengaku kena musibah dan perlu uang untuk membeli kain ihram. Rizqullah hanya membawa uang 75 riyal. Akhirnya ia patungan dengan jamaah lain untuk membantunya.
Sekembalinya ke Jeddah, dia ceritakan hal itu. `’Mereka mengatakan saya kena tipu. Ternyata banyak orang yang suka menipu di Tanah Suci. Mulanya saya tidak percaya hal itu,” ujarnya. Berhaji, kata Rizqullah, memberikan bekas spiritual yang sangat mendalam di hatinya. Rizqullah dan rombongan berangkat ke Madinah naik bus ber-AC. Sepanjang perjalanan, dia melihat kiri-kanan. Tidak ada apa-apa, hanya gurun yang terhampar. Di tengah perjalanan, rombongan beristirahat sejenak di rest area.
`’Begitu keluar dari mobil, panas terasa menyengat. Saya lantas teringat, dulu Rasulullah perjuangannya sangat berat dan keras. Beliau harus melintasi padang pasir yang terik dengan berjalan kaki dan naik onta, untuk mendakwahkan Islam kepada umat manusia. Ini memberikan inspirasi yang amat berharga bagi saya untuk menempuh perjuangan hidup,” paparnya.
Pengalaman haji membuat Rizqullah selalu rindu untuk balik lagi ke sana. Tahun 1990, saat bertugas di Hongkong, dia pun menyempatkan diri berhaji untuk kedua kalinya. Ketika bertugas di BNI Cabang London tahun-tahun menjelang dan saat berlangsung krisis ekonomi Indonesia (pertengahan tahun 1997), hampir tiap tahun Rizqullah melaksanakan umrah.
Setiap kali menunaikan ibadah haji atau umrah, akunya, dia selalu menangis. `’Walau berkali-kali kita datang ke Tanah Suci, kesannya tidak pernah berkurang. Saya lalu teringat ceramah Buya HAMKA (almarhum). Dia mengatakan begini: Saya bukan sombong, saya sudah keliling ke Rusia, Eropa, Amerika, tapi saya tidak ingin ke sana lagi. Sebaliknya, saya sudah belasan kali pergi ke Tanah Suci, tapi sampai sekarang kerinduan untuk kembali dan kembali lagi ke sana, tak pernah pudar.”
Hal itu pun, kata Rizqullah, dirasakan olehnya. `’Tiap pergi ke Tanah Suci, seakan-akan baterai yang redup atau lemah di-charge sehingga terang kembali. Tanah Suci selalu membuai, selalu menimbukkan kerinduan. Kalau kita sudah di Makkah, kembali ke Tanah Air itu rasanya berat, malas,” ujarnya.
Selain belaian rindu, haji dan umrah membuat Rizqullah makin yakin terhadap kekuasaan dan kebesaran Allah SWT. `’Semangat dan nilai-nilai ibadah haji dan umrah sangat mempengaruhi perikehidupan saya, terutama dalam melaksanakan tugas-tugas dari kantor. Saya tidak takut menghadapi siapa pun, kecuali Allah SWT. Kalau ada sesuatu yang keliru, saya tidak takut untuk mengatakannya, walaupun itu menyangkut atasan saya. Saya juga bertambah yakin, kalau kita berbuat baik, kita pasti akan memetik hikmah dan imbalannya,” tutur Rizqullah.
(Irwan Kelana )
Sumber: http://www.republika.co.id